Pajak Dalam Persewaan Bangunan
By Klikpajak
PPh Pasal 4 ayat 2: Objek, Subjek, Tarif dan Contoh
Anda yang baru disematkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), mari mempelajari lebih mendalam tentang PPh Pasal 4 ayat 2. Ketahui objek, subjek, tarif dan contoh penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) ini.
Aturan ini cukup komplek mengatur pajak, yang dikenakan pada Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP).
Ketentuan PPh Pasal 4 Ayat 2 sangat penting untuk dipahami. Sebab ada beberapa penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan jenis ini. Bukan hanya itu, tarif serta cara perhitungannya pun berbeda sebagaimana diatur di dalam peraturan perpajakan Indonesia.
PPh atau Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 disebut juga PPh Final. Pajak ini dikenakan pada WP Badan maupun WP OP untuk beberapa jenis penghasilan yang WP tersebut peroleh. Pemotongan pajak ini bersifat final yang artinya, pemotongan pajaknya hanya sekali dalam satu masa pajak.
Mengapa demikian?
Karena pertimbangannya adalah kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu dan pertimbangan lainnya.
Tarif PPh Pasal 4 Ayat (2) berbeda-beda untuk setiap jenis penghasilan.
Sebagai contoh, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), wiraswasta atau pengusaha online dengan omzet kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak, maka tarif pajaknya adalah 0,5% dari total omzet (peredaran bruto) penjualan dalam 1 bulan.
Tarif tersebut sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Hal lainnya soal PPh Pasal 4 ayat 2, yakni untuk UMKM hanya perlu membayar pajak final setiap bulannya dan melakukan validasi NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) yang diterima ketika setor pajak tersebut untuk bukti pembayaran dan pelaporan PPh Final.
Pada akhir Maret setiap tahunnya, WP OP harus melaporkan PPh Final yang didapatnya dan memasukkannya dalam lampiran SPT Tahunan 1770.
Sedangkan WP badan harus melampirkan pembayaran dan pelaporan pajak finalnya pada SPT Tahunan Badan yang dilaporkan pada akhir April setiap tahunnya.
Objek PPh Pasal 4 Ayat 2
Objek PPh Pasal 4 Ayat (2) dikenakan pada penghasilan atau pendapatan tertentu, yang diantaranya berupa:
- Peredaran bruto (omzet penjualan) dari sebuah usaha di bawah Rp4,8 miliar dalam 1 tahun masa pajak
- Bunga deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi negara, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi pada anggotanya
- Hadiah seperti menang lotre atau undian
- Transaksi saham dan surat berharga lainnya, transaksi derivatif perdagangan bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan ibu kota mitra perusahaan yang diterima oleh perusahaan modal usaha
- Transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah atau bangunan
- Pendapatan lainnya yang spesifik seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah
Untuk menjadi perhatian, ketika PPh Pasal 4 Ayat 2 dikenakan atas transaksi antara perusahaan dan individu, di mana perusahaan bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, maka perusahaan wajib menyelesaikan pajak ini.
Adapun dalam kasus transaksi yang terjadi antara dua perusahaan, maka pembayar harus mengumpulkan dan menyelesaikan pajak, bukan penerima penghasilan.
Ilustrasi penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2
Tarif PPh Pasal 4 ayat 2
Tarif PPh pasal 4 ayat 2 yang dikenakan kepada WP badan dan WP OP merujuk pada sumber-sumber penghasilan yang diterima.
Mengenai hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 10%
Besar tarif PPh Pasal 4 ayat 2 ini dikenakan pada bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada para anggotanya masing-masing sebagaimana telah diatur pada Pasal 17 Ayat 7 serta turunannya PP No. 15 Tahun 2009.
Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 10% ini juga diperuntukkan pada dividen yang diterima WP OP di dalam negeri seperti diatur dalam Pasal 17 Ayat 2C.
Tarif pajak 10% ini juga untuk sewa atas tanah atau bangunan. Hal ini diatur dalam PP No. 29 Tahun 1996 dan juga turunannya PP No. 5 Tahun 2002.
Mengenal PPN Atas Sewa Bangunan
PPN atas sewa bangunan merupakan pajak yang dikenakan atas kegiatan jasa persewaan ruangan yang termasuk dalam jasa persewaan barang tidak bergerak.
Kali ini, kami akan membahas secara lebih fokus mengenai PPN atas sewa bangunan. Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai sewa bangunan, mari kita lihat bersama apa yang dimaksud dengan biaya sewa.
Jadi, biaya sewa adalah kewajiban perusahaan yang harus dibayarkan kepada suatu pihak atas jasa pihak bersangkutan, yang telah meminjamkan aktiva untuk kepentingan perusahaan. Atas kegiatan persewaan ini, pihak penyewa akan mengajukan batas pembayaran untuk periode satu tahun.
.
Ketentuan Pajak Sewa Bangunan
Sewa bangunan dikenakan dua jenis pajak yaitu PPh pasal 4 ayat 2 dan PPN. Dalam penerapannya berlaku ketentuan sebagai berikut :
- Atas pembayaran biaya sewa bangunan oleh suatu perusahaan, pemilik tanah dan bangunan wajib penerbitkan faktur pajak atas pungutan PPN sebesar 10% x seluruh biaya sewa atas transaksi sewa bangunan tersebut.
- Apabila pemilik tanah merupakan PKP, maka biaya sewa yang dibayarkan utuk satu periode/ tahun tidak termasuk pajak PPN. Namun apabila pemilik tanah bukan PKP, maka biaya sewa adalah uang sewa ditambah PPN yang telah dibayarkan. Dengan kata lain biaya sewa yang dibayarkan pihak penyewa sudah mengandung unsur PPN di dalamnya.
- Selain PPN penyewaan bangunan juga dikenakan PPh pasal 4 ayat 2 sebesar 10% dari seluruh biaya sewa. Pihak penyewa wajib memberi bukti pemotongan Pph pasal 4 ayat 2 ke pemilik tanah dan bangunan tersebut.
- Pajak atas sewa bangunan merupakan jenis pajak yang bersifat final, hal ini sebagaimana tertullis dalam UU no. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Ketentuan untuk potongan pajak atas sewa bangunan diantaranya :
- Apabila penyewa adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri dan orang pribadi yang ditetapkan DJP maka PPh terutang wajib dipotong oleh penyewa dan penyewa wajib memberikan bukti potong kepada yang menyewakan/ yang menerima penghasilan.
- Apabila penyewa adalah orang pribadi / bukan subjek pajak penghasilan maka PPh terutang wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan.
Contoh kasus:
G adalah seorang pengusaha yang menyewa gedung milik H, harga sewa pertahunnya adalah Rp 60 juta. Atas kondisi ini, timbul pertanyaat mengenai PPN atas sewa bangunan di antaranya:
a) Pajak apa saja yang dikenakan pada pemilik gedung dan penyewa gedung?
b) Apakah penyewa gedung dikenakan PPN sebesar 10% yang akan disetorkan ke kas negara oleh pemilik gedung?
c) Berapa jumlah uang bersih yang akan diterima oleh pemilik gedung?
Jawaban:
a) Atas kasus ini baik pihak pemilik gedung dan penyewa gedung dikenakan PPN
b) Ya, penyewa gedung dikenakan PPN sebesar 10% yang harus disetorkan ke kas negara oleh pemilik gedung
c) Jumlah uang bersih yang akan diterima pemilik gedung adalah sebesar Rp 54 juta, yang didapatkan dari hasil Rp 60 juta – (Rp 60 juta x 10%) = Rp 60 juta – Rp 6 juta = Rp 54 juta
Besaran masing-masing PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPN adalah 10%.
Berikut simulasi penghitungannya:
Perusahaan X membayar harga sewa kantor ke PKP sebesar Rp20.000.000 per tahun, maka tarif PPh sewa gedung kantor adalah:
10% x Rp20.000.000 = Rp2.000.000
Lalu perusahaan X sebagai penyewa melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas pemotongan ini dan memberikan bukti potongnya ke pemilik tanah/bangunan.
Sementara pihak PKP sebagai pemilik bangunan/tanah memotong PPN dengan besaran:
10% x Rp20.000.000 = Rp2.000.000
Maka keseluruhan biaya sewa per tahun yang harus dibayarkan oleh penyewa gedung adalah:
Biaya sewa + PPN – PPh Pasal 4 ayat (2)
Rp20.000.000 + Rp2.000.000 – Rp2.000.000 = Rp20.000.000
Penyewa nantinya akan menerima bukti pembayaran sewa tanah dan/atau bangunan serta faktur PPN dari pihak yang menyewakan tanah dan/atau bangunan.